Selasa, 20 Maret 2012

Tugas I : KUHP BUKU IV "Pembuktian dan Daluarsa"




NAMA         : SONNU IZQI
NPM            : 26210649
KELAS         : 2EB17

Secara umum hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya, berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Dalam tradisi hukum di Eropa (civil law), hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum publik dan hukum privat atau yang lebih dikenal dengan hukum perdata.

Hukum perdata merupakan ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia mengacu pada hukum perdata Belanda. Khususnya pada masa penjajahan. Sedangkan hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.


SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematika yang dipakai dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata terbagi dalam empat bagian buku, yaitu :
·         Buku I            : Perihal Orang
·         Buku II          : Perihal Benda
·         Buku III        : Perihal Perikatan
·         Buku IV          : Perihal Pembuktian dan Daluarsa

Namun kali ini saya hanya akan membahas buku keempat. Yaitu mengenaiPembuktian dan Daluarsa (VAN BEWIJS EN VERJARING). Buku keempat ini berisikan peraturan tentang alat bukti dan kedudukan benda akibat waktu lampau.

  1. Tentang pembuktian pada umumnya
1865. Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.
1866. Alat pembuktian meliputi :
·         bukti tertulis
·         bukti saksi
·         persangkaan
·         pengakuan
·         sumpah

  1. Tentang pembuktian dengan tulisan
·         1867. Pembuktian dengan  tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
·         1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
·         1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.
·         1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.
·         1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
·         1872. jika suatu akta otentik dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.
·         1873. persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.
·         1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

  1. Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
·         1895. Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.
·         1902. Dalam hal undang-undang memerintahkan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi, bila ada suatu bukti permulaan tertulis, kecuali jika tiap pembuktian tidak diperkenankan selain dengan tulisan. Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
·         1905. Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya.
·         1907. Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.

  1. Tentang persangkaan-persangkaan
·         1915, Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Terdapat dua persangkaan yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang dan yang tidak berdasarkan undang-undang.
·         1922. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

  1. Tentang pengakuan
·         1923. Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak, ada yang diberikan dalam sidang Pengadilan dan ada yang diberikan di luar sidang Pengadilan.
·         1924. Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan sehingga merugikan orang yang memberikannya.
·         1926. Suatu pengakuan yang diberikan dihadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.

  1. Tentang sumpah di muka Hakim
·         1929. Ada dua macam sumpah dihadapan hakim :
1.     sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus.
2.    sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak.
·         1930. Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah pihak tidak mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.


0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates